Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Aktualisasi Fitrah Beragama Pada Anak-Anak

Aktualisasi Fitrah Beragama Pada Anak-Anak
Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek ronhaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminnallah maupun hablumminnannas. Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap nilai-nilai agama. Proses ini terbentuk dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor internal (fitrah, potensi beragama) dan eksternal (lingkungan).
1.       Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan potesi lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga (orang tua) dalam perkembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan. Keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah  yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting yang lain bagi anak. Keluarga adalah tempat yang penting dimana anak akan pemperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang berhasil di masyarakat. Keluarga sebagai landasan bagi anak memberikan berbagai  macam bentuk dasar:
  1. Di dalam keluarga yang teratur dengan baik dan sejahtera, seorang anak akan memperoleh latihan-latihan dasar dalam mengembangkan sikap sosial yang baik dan kebiasaan berprilaku.
  2. Di dalam keluarga dan hubungan-hubungan antar anggota keluarga terbentuklah pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial dan interaksi sosial yang lebih luas.
  3. Dalam ikatan keluarga yang akrab dan hangat, seorang anak akan memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab yang diharapkan.
Keluarga memiliki fungsi, yaitu:
  1. Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak
  2. Memberikan afeksi atau kasih sayang, dukugnan dan keakraban
  3. Mengembangkan kepribadian.
  4. Mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung jawab.
Mengenai pentingnya peranan orangtua dalam pendidikan agama bagi anak, Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani, atau majusi”. Salah seorang ahli psikologi, yaitu Hurlock (1956:434) berpendapat bahwa keluarga merupakan “Training Cemtre” bagi penanaman nilai-nilai (termasuk juga nilai-nilai agama). Pendapat ini menunjukan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat latihan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai (tata krama, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau menerapkannnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun sosial kemasyarakatan.
2.       Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional), sosial, maupun moral-spiritual.
Menurut Hurlock (1959) sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari orangtua.
Mengenai peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.
Dalam akitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak, atau siswa, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama. Upaya-upaya itu adalah sebagai berikut:
  1. Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode)  yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya.
  2. Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (kontekstual).
  3. Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).
  5. Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.
3.       Lingkungan masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah interaksi sosial dan sosiokulktural yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak (terutama remaja).
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; demikian pula halnya degan aspek moral pada anak. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannnya mengenai bagaimana ia harus bertingkahlaku yang baik dan tingkah laku yang dikatakan salah atau tidak baik (Singgih, 2008:61)
Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukan kebobrokan moral, maka anak cenderung akan terpegaruh untuk berprilaku seperti temannya tersebut. Al ini terjadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orangtuanya
Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock (1956:436) mengemukakan, bahwa “Standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya”. Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung kepada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif (menunjang) bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah mereka yang: a) taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong, dan bersikap jujur, dan b) menghindari skikap dan perilaku yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai, sikap munafik, mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi, dsb) dan perilaku maksiat lainnya (berzina, berjudi dan minuman keras). Sedangkan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tidak kondusif, atau berpengaruh negatif terhadap perkembangan akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai oleh karakteristik berikut:
  1. Gaya hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang materialistis dan hedonisme, yaitu yang mendewakan materi dan hidupnya sangat berorientasi untuk meraih kenikmatan (walaupun dengan cara yang melanggar aturan agama).
  2. Warga masyarakat (baik yang memegag kekuasaan maupun warga biasa) bersikap melecehkan norma agama, atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan mensponsori kemaksiatan, seperti: perjudian, prostitusi, minuman keras, dan penayangan acara-acara televisi yang merusak aqidah dan akhlak (Yusuf, 2002:53).
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia anak (remaja), maka ketiga lingkungan tersebut secara sinergi harus bekerjasama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana ligkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengn berkembangnya komitmen yang kuat dari masing-masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orangtua, pihak sekolah, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas iklim lingkungan yang kondusif itu dapat dilihat pada bbagan berikut (Yusuf, 2002:54):



Daftar Pustaka
Syamsu Yusuf. (2002). Psikologi Belajar Agama. Bandung: Maestro.
Singgih Gunarsa. (2004). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar