Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Mengembangkan Kriteria Tes


Mengembangkan Kriteria Tes II
Tes berarti ujian atau percobaan. Ada beberapa istilah  yang terkait dengan tes namun memiliki arti yang agak berbeda yaitu test, testing, tester dan testee, yang masing-masing mempunyai pengertian berbeda namun erat kaitannya.
  1. Tes adalah alat atau prosedur yang dipergunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian,
  2. Testing berarti saat dilaksanakannya pengukuran dan penilaian atau saat pengambilan tes
  3. Tester artinya orang yang melaksanakan tes atau orang yang diserahi untuk melaksanakan pengambilan tes terhadap para responden
  4. Testee adalah pihak yang sedang dikenai tes.
Yang dimaksud dengan tes adalah alat pengukur yang mempunyai standar yang obyektif sehingga dapat digunakan secara meluas, serta dapat digunakan sebagai cara untuk mengukur dan membandingkan keadaan pskis atau tingklah laku individu. Menurut Goodenough tes adalah suatu tugas atau serangkaian tugas yang diberikan kepada individu atau kelompok individu, yang dimaksud untuk membandingkan kecakapan satu sama lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian tes adalah cara yang digunakan atau prosedur yang ditempuh dalam rangka penilaian di bidang pendidikan, yang memberikan tugas dan serangkaian tugas yang diberikan oleh guru sehingga dapat dihasilkan nilai yang melambangkan perilaku atau prestasi peserta didik.
Bila kita membahas jenis-jenis Tes, Anda akan dapat mencermati lima jenis atau cara pembagian tes yaitu: a) Pembagian jenis Tes berdasarkan tujuan penyelenggaraan, b) Jenis Tes berdasarkan waktu penyelenggaraan, c) Pembagian jenis tes berdasarkan cara mengerjakan, d) Pembagian jenis Tes berdasarkan cara Penyusunan, e) Pembagian jenis Tes berdasarkan bentuk jawaban.
Jenis Tes Berdasarkan Tujuan Penyelenggaraan terdiri dari Tes Seleksi, Tes Penempatan, Tes Hasil Belajar, Tes Diagnostik, Tes Uji Coba. Sedang Jenis Tes berdasarkan tahapan/waktupenyelenggaraan meliputi Tes Masuk (Entrance Test), Tes Formatif (Formative Test), Tes Sumatif (Summative Test), Pra-tes dan Pos-tes. Secara umum, tes dapat dikerjakan secara tertulis dan secara lisan dalam bentuk tes essay maupun obyektif.

Tes Pengembangan
Konsepsi tes untuk mengevaluasi penguasaan peserta didik yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Biasanya pengembangan tes menjadi hal yang terakhir yang dilakukan dalam pengembangan program pembelajaran. Tujuan utama tes supaya mengetahuni apakah peserta didik berkembang. Hal ini untuk mengetahui apakah terjadi suatu perubahan tingkah laku serta pemahaman selama mengikuti kegiatan proses belajar .
Di bawah ini menunjukkan bagaimana mengikuti program pelatihan dalam tugas pengukuran kinerja, model ISD (Instruksional System Design= Sistem Desain Pembelajaran) didasarkan pada pengembangan:
  1. Analisis tugas untuk menentukan tujuan pembelajaran
  2. Mengembangkan tujuan pembelajaran secara penuh dan menentukannya jika tujuan diperlukan. Namun, jika tidak, dibuang.
  3. Daftar langkah-langkah memerlukan standar tujuan kinerja.
  4. Membuat instrumen tes untuk menentukan jika peserta didik melakukan langkah-langkah tujuan yang diperlukan.
  5. Konsep peserta didik tentang tujuan kinerja. (kita akan mengetahui peserta didik dapat mengerjakan tugasnya jika mereka mengetahui standar evaluasinya seperti apa).
Kegunaan Tes
Tes digunakan sebagai “evaluasi” atau “pengukuran”. Tes ini dilakukan supaya dapat melihat apa yang telah diperoleh peserta didik selama pelatihan, maka digunakan tes evaluasi:
1. Tes atau instrument tes (Brown, 1971)
Suatu sistematika prosedur untuk mengukur suatu tingkah laku individu, seperti PG (Pilihan Ganda), tes kinerja.
2. Evaluasi (Wolansky, 1985)
Suatu proses sistematika dari kumpulan dan menggunakan informasi dari berbagai sumber yang dipakai menerjemahkan hasil dan membuat nilai pendapat dan keputusan.
3. Pengukuran (Wolansky, 185)
Proses mengerjakan untuk menghasilkan kuantitas anggota yang meningkatkan cari pembawaan atau tingkah laku peserta didik.
Tipe-tipe atau Macam-macam Tes
Yang digunakan dalam program pelatihan adalah Kriteria Sumber Penulisan Tes, Tes Kinerja, dan Survai Sikap. Normalnya, satu diantara tiga tes pembelajaran (Krathwohl, et.al., 1964) (melihat seksi pertama pada Bab IV, Tahap Pengembangan untuk mendapatkan informasi dalam isi pembelajaran).
Meskipun banyak tugas memerlukan lebih dari isi pembelajaran. Secara umumnya, satu yang dihasilkan. Dominan isinya seharusnya terletak pada point yang dipusatkan, dengan mengikuti evaluasi:
Rencana Tes
Sebelum tes digunakan, tes harus direncanakan. Tanpa perencanaan, tes yang dibuat tidak akan berhasil.
4. Referensi Kriteria Tes
Isi evaluasi kognitif yang dimasukkan untuk mengingat atau pengenalan pada hal yang spesifik, contoh procedural, dan konsep-konsep yang memenuhi pengembangan kemampuan intelektual, dan keterampilan-keterampilan.
5. Tes Kinerja
Isi evaluasi psikomotorik yang memasukkan gerakan alam, penyesuaian, dan menggunakan “motor-skills”.
6. Survai Tes
Isi evaluasi afektif yang mencantumkan cara yang sesuai dengan emosi, seperti perasaan-perasaan, nilai-nilai, apresiasi-apresiasi, antusiasme, motivasi, dan sikap.
Tipe- tipe Penulisan Tes
1. Pertanyaan Terbuka Ini termasuk pertanyaan dengan batas waktu dalam menjawab.
2. Daftar Cek Pertanyaan ini menggunakan daftar dan langsung di cek situasi menurut peserta didik.
3. Dua-Macam Pertanyaan (maksudnya Pertanyaan Benar Salah)
Tipe pertanyaan ini terdapat alternatif jawaban seperti ya atau tidak, benar atau salah.
4. Pertanyaan Pilihan Ganda Memberikan beberapa pilihan, dan peserta didik menjawab salah satu yang dianggap benar.
5. Skala Nilai Tipe pertanyaan ini memerlukan daftar dari setiap pertanyaan yang telah disediakan.
6. Esai Memerlukan suatu jawaban dalam kalimat, paragrap, atau karangan pendek.

B. Langkah-langkah Menyusun tes
Penyusunan tes sangat besar pengaruhnya terhadap siswa yang akan mengikuti tes, untuk mengurangi kesalahan dalam pengukuran maka tes harus direncanakan secara cermat. Dalam perencanaan tes ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan guru sebagai pendidik yaitu :
1. Menentukan cakupan materi yang akan diukur. Ada tiga langkah dalam mengembangkan kisi-kisi tes dalam sistem penilaian berbasis kompetensi dasar, yaitu (1) Menulis kompetensi dasar, (2) Menulis materi pokok, (3) Menentukan indikator, (4) Menentukan jumlah soal.
2. Memilih Bentuk Tes. Pemilihan bentuk tes akan dapat dilakukan dengan tepat bila didasarkan pada tujuan tes, jumlah peserta tes, waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban tes, cakupan materi tes, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan.
3. Menetapkan panjang Tes : Ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah soal, yaitu: bobot masing-masing bagian yang telah ditentukan dalam kisi-kisi, keandalan yang diinginkan, dan waktu yang tersedia.
Kegiatan di atas tentunya sudah Anda lakukan pada waktu mengerjakan tugas pada tutorial pertama. Selanjutnya Anda mulai dapat mengembangkan atau menulis butir pertanyaan sesuai dengan kisi-kisi yang telah ditetapkan. Ada 3 kegiatan pokok dalam menulis butir soal yaitu : a) menulis draft soal, b) Memantapkan Content Validity, c) Melakukan try out. Selanjutnya ada beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam mengembangkan instrumen yaitu: Menjaga Obyektivitas pelaksanaan, Memberikan skor pada hasil tes, dan Melakukan Analisis Hasil Tes.

Setelah Anda memahami langkah-langkah pokok yang seharusnya dilakukan dalam pelaksanaan tes selanjutnya Anda perlu memahami langkah-langkah mengembangkan tes sebagai instrumen Asesmen di kelas.
1. Menjabarkan Kompetensi Dasar ke dalam Indikator Pencapaian Hasil Belajar.
Kegiatan ini dalam langkah kegiatan umum masuk dalam langkah ”Menentukan cakupan materi yang akan diukur” Indikator merupakan ukuran, karakteristik, ciri-ciri, pembuatan atau proses yang berkontribusi/menunjukkan ketercapaian suatu kompetensi dasar. Sesuai dengan Kurikulum Tngkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka indikator pencapaian hasil belajar dikembangkan oleh pendidik dengan memperhatikan perkembangan dan kemampuan setiap peserta didik, keluasan dan kedalaman kompetensi dasar, dan daya dukung sekolah.
2. Menetapkan Jenis Tes dan Penulisan Butir Soal
Setelah Anda menjabarkan standar kompetansi, kompetensi dasar dan indikator keberhasilannya, maka Anda mulai dapat menetapkan indikator yang menunjukkan tingkat pencapaian kompetensi tersebut. Kemudian lakukan pemilihan bentuk tes berdasarkan pada tujuan tes, cakupan materi tes, karakteristik mata pelajaran yang diukur pencapaiannya, jumlah peserta tes, termasuk waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban tes. Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal berikut (1) materi, (2) konstruksi, (3) bahasa, dan (4) kaidah penulisan
3. Mengembangkan tes pada Kawasan Kognitif, Afektif dan Psikomotor
Dalam mengukur indikator pencapaian hasil belajar baik kognitif, afektif maupun psikomotor dapat menggunakan berbagai macam bentuk tes baik tertulis maupun lisan. Domain kognitif dapat diukur menggunakan seperti misalnya tes lisan, tes pilihan ganda, tes obyektif, tes uraian, tes jawaban singkat, menjodohkan, dan tes unjuk kerja. Tes pada domain afektif untuk mengukur sikap dengan teknik antara lain observasi, pertanyaan langsung, dan laporan pribadi yang diukur dengan menggunakan skala Likert. Sedang hasil belajar psikomotor yang indikator keberhasilannya lebih berorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksi fisik atau keterampilan tangan.
C. Kriteria Tes Yang Baik
Ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menyusun butir-butir tes yang berkualitas yaitu a) Valid, b) Relevan, c) Spesifik, d) Representatif, e) Seimbang, f) Sensitif , g) Fair, h) Praktis. Kualitas instrumen sebagai alat ukur ataupun alat pengumpul data diukur dari kemampuan alat ukur tersebut untuk dapat mengungkapkan dengan secermat mungkin fenomena-fenomena ataupun gejala yang diukur. Kualitas yang menunjuk pada tingkat keajekan, kemantapan serta konsistensi dari data yang diperoleh itulah yang disebut dengan validitas dan Reliabilitas. Validitas alat ukur menunjukkan kualitas kesahihan suatu instrument, Alat pengumpul data dapat dikatakan valid atau sahih apabila alat ukur tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur /diingikan. Jenis-jenis validitas yang dapat dipakai sebagai kriterium, dalam menetapkan tingkat kehandalan tes, diantaranya adalah : a) Validitas Permukaan (Face Validity), b) Validitas konsep (Construct Validity), c) Validitas Isi (Content Validity) Kerlinger (1986 : 443) mengemukakan bahwa reliabilitas dapat ukur dari tiga kriteria yaitu: (1) Stability : adalah kriteria yang menunjuk pada keajegan (konsistensi) hasil yang ditunjukan alat ukur dalam mengukur gejala yang sama, pada waktu yang berbeda. (2) Dependability : yaitu kriteria yang mendasarkan diri pada kemantapan alat ukur atau seberapa jauh alat ukur dapat diandalkan. (3) Predictability: Karena perilaku merupakan proses yang saling berkait dan berkesinambungan, maka kriteria ini mengidealkan alat ukur yang dapat diramalkan hasilnya dan meramalkan hasil pada pengukuran gejala selanjutnya.
Cara mencari koefisien reliabilitas alat ukur, dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara, yang masing-masing mempunyai kekurangan dan keunggulan. Berbagai pilihan tentang cara menetapkan tingkat reliabilitas alat ukur tersebut adalah : a) Teknik Pengulangan (Test and Re Test Reliability, b). Teknik Bentuk Paralel (Alternate Form Reliability), c) Teknik belah dua (Split Half reliability).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aktualisasi Fitrah Beragama Pada Anak-Anak

Aktualisasi Fitrah Beragama Pada Anak-Anak
Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek ronhaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminnallah maupun hablumminnannas. Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap nilai-nilai agama. Proses ini terbentuk dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor internal (fitrah, potensi beragama) dan eksternal (lingkungan).
1.       Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan potesi lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga (orang tua) dalam perkembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan. Keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah  yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting yang lain bagi anak. Keluarga adalah tempat yang penting dimana anak akan pemperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang berhasil di masyarakat. Keluarga sebagai landasan bagi anak memberikan berbagai  macam bentuk dasar:
  1. Di dalam keluarga yang teratur dengan baik dan sejahtera, seorang anak akan memperoleh latihan-latihan dasar dalam mengembangkan sikap sosial yang baik dan kebiasaan berprilaku.
  2. Di dalam keluarga dan hubungan-hubungan antar anggota keluarga terbentuklah pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial dan interaksi sosial yang lebih luas.
  3. Dalam ikatan keluarga yang akrab dan hangat, seorang anak akan memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab yang diharapkan.
Keluarga memiliki fungsi, yaitu:
  1. Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak
  2. Memberikan afeksi atau kasih sayang, dukugnan dan keakraban
  3. Mengembangkan kepribadian.
  4. Mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung jawab.
Mengenai pentingnya peranan orangtua dalam pendidikan agama bagi anak, Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani, atau majusi”. Salah seorang ahli psikologi, yaitu Hurlock (1956:434) berpendapat bahwa keluarga merupakan “Training Cemtre” bagi penanaman nilai-nilai (termasuk juga nilai-nilai agama). Pendapat ini menunjukan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat latihan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai (tata krama, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau menerapkannnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun sosial kemasyarakatan.
2.       Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional), sosial, maupun moral-spiritual.
Menurut Hurlock (1959) sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari orangtua.
Mengenai peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.
Dalam akitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak, atau siswa, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama. Upaya-upaya itu adalah sebagai berikut:
  1. Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode)  yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya.
  2. Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (kontekstual).
  3. Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).
  5. Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.
3.       Lingkungan masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah interaksi sosial dan sosiokulktural yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak (terutama remaja).
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; demikian pula halnya degan aspek moral pada anak. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannnya mengenai bagaimana ia harus bertingkahlaku yang baik dan tingkah laku yang dikatakan salah atau tidak baik (Singgih, 2008:61)
Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukan kebobrokan moral, maka anak cenderung akan terpegaruh untuk berprilaku seperti temannya tersebut. Al ini terjadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orangtuanya
Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock (1956:436) mengemukakan, bahwa “Standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya”. Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung kepada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif (menunjang) bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah mereka yang: a) taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong, dan bersikap jujur, dan b) menghindari skikap dan perilaku yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai, sikap munafik, mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi, dsb) dan perilaku maksiat lainnya (berzina, berjudi dan minuman keras). Sedangkan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tidak kondusif, atau berpengaruh negatif terhadap perkembangan akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai oleh karakteristik berikut:
  1. Gaya hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang materialistis dan hedonisme, yaitu yang mendewakan materi dan hidupnya sangat berorientasi untuk meraih kenikmatan (walaupun dengan cara yang melanggar aturan agama).
  2. Warga masyarakat (baik yang memegag kekuasaan maupun warga biasa) bersikap melecehkan norma agama, atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan mensponsori kemaksiatan, seperti: perjudian, prostitusi, minuman keras, dan penayangan acara-acara televisi yang merusak aqidah dan akhlak (Yusuf, 2002:53).
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia anak (remaja), maka ketiga lingkungan tersebut secara sinergi harus bekerjasama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana ligkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengn berkembangnya komitmen yang kuat dari masing-masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orangtua, pihak sekolah, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas iklim lingkungan yang kondusif itu dapat dilihat pada bbagan berikut (Yusuf, 2002:54):



Daftar Pustaka
Syamsu Yusuf. (2002). Psikologi Belajar Agama. Bandung: Maestro.
Singgih Gunarsa. (2004). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS